Serangan Ilmu Teluh Kepada Istriku, Dendam Seorang Mantan




Mudah-mudahan orang yang suka 'neluh' dapat tergugah hatinya untuk menghetikan perbuatan keji itu setelah membaca penderitaan istriku yang teramat menyakitkan ini.

Begitulah yang dikatakan oleh Rangga (24) sebelum mulai menceritakan penderitaannya Yanti, istrinya (23).

Pasangan suami-istri yang tinggal di sebuah komplek di Bandung ini mendapat serangan ilmu 'teluh' ketika baru saja menjalani satu tahun masa perkawinannya.

***

Aku dilahirkan di sebuah kampung yang agak terpencil, sebelah utara kota Ciamis. Kedua orang tuaku juga merupakan keturunan asli dari para leluhur bali geusan ngajadi-ku.

Setelah aku berusia tujuh tahun, aku disekolahkan di salah satu SD yang ada di kampungku. Dan walaupun kedua orang tuaku bukan orang yang kaya, tapi aku masih bisa melanjutkan sekolah ke SMP, yang tempatnya agak jauh dari kampungku.

Menginjak kelas tiga SMP, aku menemukan sebuah kisah yang lebih dikenal dengan sebutan 'Cinta Monyet'. Yakni jalinan cintaku dengan Diah, seorang gadis lugu, adik kelasku.

Memang hubungan tersebut merupakan kisah cinta pertama. Sayangnya tidak bertahan lama, sebab aku harus melanjutkan sekolah ke Bandung, ikut kepada kakakku. Sehingga hubungan 'cinta' pun terputus.

Aku sudah tidak lagi mengingat nama Diah, dan Diah pun sepertinya tidak lagi mengingat namaku. Buktinya, aku tak pernah menerima surat dari Diah, walau sudah berulang kali berusaha menghubunginya.


Ketika aku telah lulus dari SMA, secara tidak sengaja aku berjumpa lagi dengan Diah. Mulanya aku tak percaya pada penglihatanku.

Diah telah berubah secara drastis. Baik cara penampilan atau pun sikapnya.  Entah siapa yang mengajarkannya dalam tata cara pergaulan. Yang jelas, Diah telah terbawa oleh arus budaya luar yang sangat tidak mendidik.

Aku pun tak kuasa menyaksikan Diah yang dengan beraninya menghisap daun beracun di hadapanku. Dan aku lebih kaget, ketika Diah berkeinginan untuk  melanjutkan lagi jalinan cinta denganku. Tentu saja aku merasa bimbang, sebab aku telah berpacaran dengan Yanti, teman sekelasku semasa di SMA.


Aku mencoba untuk memberikan pengertian kepada Diah, dan berusaha untuk tidak menyakiti hatinya. Tapi Diah memaksakan kehendaknya, sampai pada akhirnya diam-diam Diah menemui Yanti ke rumahnya.

Hampir saja terjadi pertengkaran, kalau saja aku tidak cepat-cepat melerainya. Yanti sempat menangis, mendengar kata-kata 'kotor' Diah. Membuat aku sedikitnya menjadi berang, sehingga Diah kumarahi.

Diah pergi sambil mencaci maki, bahkan meninggalkan sebuah ancaman yang membuat bulu kudukku berdiri.

Entah karena ada masalah dengan Diah atau apa, tiba-tiba Yanti mengajakku untuk cepat-cepat melangsungkan pernikahan. Padahal aku belum mempunyai pekerjaan yang tetap.

Terlebih lagi bekal untuk menjalani suatu pernikahan. Tapi Yanti berjanji untuk tidak memberikan beban yang terlalu berat kepadaku.

Yanti juga berjanji akan bekerja, untuk membantu kebutuhan rumah tangga. Sehingga akhirnya aku dan Yanti menikah, setelah mendapat persutujuan dari pihak keluargaku dan keluarganya.

Acara pernikahan tidak berlangsung secara meriah. Bahkan terkesan sangat sederhana. Yang diundang pun hanya kerabat dekat dan tetangga saja. Yanti memang begitu mengerti dengan keadaanku. Dia tidak berambisi untuk melangsungkan sebuah pesta yang meriah.

Walau kami hanya tinggal di rumah kontrakan yang berukuran kecil, tapi Yanti terlihat sangat berbahagia. Dia benar-benar menepati janjinya. T

idak pernah menuntut banyak kepadaku, terutama yang berhubungan dengan materi. Bahkan dua bulan kemudian, Yanti bekerja di sebuah perusahaan swasta.

Kasih sayangnya begitu tulus, sehingga aku menemukan sosok ibu pada diri Yanti. Padahal usia Yanti masih termasuk remaja, yang kebanyakan teman sebayanya masih suka menghamburkan waktu untuk main dan hura-hura.

Tertimpa Ujian Yang Cukup Berat
Baru saja aku dan Yanti menjalani rumah tangga selama satu tahun, datanglah ujian yang rasanya cukup berat. Yanti mendadak terserang penyakit yang sangat aneh.

Kalau malam hari, dia sering muntah darah. Padahal siangnya terlihat sangat sehat. Menurut dokter pun, Yanti tidak mengindap penyakit apa-apa. Membuat aku dibuat bingung jadinya.

Lama-kelamaan penyakit Yanti semakin parah. Dia pernah 'kerasukan', dan mencoba untuk mencekik leherku.

Tentu saja keluargaku dan keluarga Yanti menjadi panik. Hal ini dikarenakan sebelumnya Yanti tak pernah terjangkit penyakit aneh seperti itu.

"Kakara ayeuna budak teh jadi kieu! (Baru sekarang, anak ini jadi begini!)" begitulah yang dikatakan oleh mertuaku dengan penuh kesedihan.

Diam-diam, aku pun merasa takut kepada Yanti. Sehingga aku tidak berani lagi tidur dengannya. Aku selalu khawatir, kalau-kalau di tengah malam, Yanti akan mengamuk lagi.

Tubuh Yanti semakin kurus. Dia sudah tidak mampu lagi untuk bangun dari tempat tidurnya, baik waktu malam atau pun siang.

Tapi pancaran matanya sangat tajam, membuatku menggigil ketakutan. Kalau saja aku tak ingat akan kasih sayangnya, serasa ingin berlari saja untuk meninggalkan Yanti.

Namun,  Yanti pun terkadang sangat membutuhkan kehadiranku di sisinya. Dia suka menjerit-jerit sambil memegang dadanya. Seakan merasakan suatu rasa sakit yang luar biasa.

Jasa Seorang Sahabat

Suatu hari, seorang sahabatku semasa SMA,  mengunjungi rumah kontrakanku untuk menengok Yanti.

Dia terkejut menyaksikan keadaan Yanti, dan dia mengatakan bahwa istriku terkena oleh 'teluh' atau guna-guna ilmu jahat.

Maka dari itu, aku mencoba untuk mencari 'orang pintar' ke berbagai tempat dengan diantar oleh sahabatku.

Sampai pada akhirnya, aku dan istriku diajak ke kampung Cisalak - Cianjur, menemui seorang 'pananyaan' yang lebih dikenal dengan nama H. Mubarok. Aku lupa tempatnya, tetapi kampung itu terletak di antara Cianjur Sukabumi.

Aku sangat kaget menyaksikan cara kerja pengobatan H. Mubarok. Aku dan sahabatku diperbolehkan untuk menyaksikan pengobatan Yanti.

Dari mulai H. Mubarok mengeluarkan sebuah pisau dari kotaknya. Lalu pisau yang tajam itu digunakannya untuk menyobek kulit pada bagian dada Yanti. Sungguh aneh, tubuh Yanti tak mengeluarkan  darah barang setetes pun.

Dan aku lebih kaget lagi ketika ada potongan silet yang dikeluarkan dari tubuh Yanti, melalui kulitnya yang sudah terkuak itu. Sepertinya, itu bukanlah sulap atau akrobat. Sebab aku menyaksikannya dalam jarak yang sangat dekat, dengan mata yang tidak berkedip.

Menurut H. Mubarok, Yanti memang terkena guna-guna. Bahkan menurut beliau, sihir itu pada mulanya ditujukan kepadaku. Namun karena istriku yang sedang apes, maka istrikulah yang menjadi korbannya.

"Saha anu gaduh damelna, Pa Haji? /Siapa yang punya pekerjaan ini, Pa Haji?,"  aku bertanya kepada H. Mubarok, yang selalu memanggilku dengan sebutan 'Asep'.

"Anu ngalakukeunna mah tangtu bae ahlina, dititah ku hiji jalma anu ngewa ka Asep, /Yang melakukannya tentu saja ahlinya, disuruh oleh orang yang benci kepada Asep," jawabnya dengan tenang.

"Muhun, saha eta teh jalmina? /Iyah, siapa orangnya?" aku semakin penasaran.

"Moal tiasa disebatkeun. Kajaba lamun Asep jangji, moal sakali-kali males deui ku pagawean anu sarupa. /Tidak bisa disebutkan, kecuali Asep berjanji untuk tidak sekali-kali membalas lagi dengan perbutan yang sama." Jawab H. Mubarok.

Aku termenung sejenak dan mengartikan setiap perkataan H. Mubarok, sampai akhirnya aku bisa memahami maksudnya.

Lalu, aku pun berjanji untuk tidak membalas perbuatan keji tersebut. Bahkan aku sempat disumpah oleh H. Mubarok.

Sehingga pada kahirnya, H. Mubarok pun mengatakan sebuah nama yang tidak asing di telingaku. Bahkan beliau pun menerangkan asal-usul orang tersebut, lengkap dengan nama kampung tempat tinggalnya. Membuat aku begitu kaget dan seakan tidak percaya mendengar setiap ucapan H. Mubarok.

Tapi aku tidak salah dengar. H. Mubarok menyebutkan nama 'Yanti' dengan penuh keyakinan. Dan aku merasa tidak perlu untuk menanyakan, bagaimana H. Mubarok bisa mengenal seputar kehidupan Yanti, dan kisahnya yang berhubungan denganku.

Yang penting, istriku telah sembuh sampai saat ini. Aku pun selalu berdo'a kepada Alloh, mudah-mudahan ujian tersebut tak akan pernah teralami lagi oleh siapapun untuk selama-lamanya, Amiin. Rangga menutup pengalaman pahitnya, sambil meneteskan air mata.***

 (Sebagaimana diceritakan kepada Ekspresif.Com)

0/Post a Comment/Comments

Previous Post Next Post