Kisah ini dialamai oleh NH (38), seorang petani di salah satu desa di kabupaten Ciamis yang cukup sukses mengelola lahan pertaniannya.
Namun, karena rasa iri hati terhadap keberhasilan tetangganya, dia melakukan perbuatan yang dianggapnya sepele. Sungguh tak disangka, perbuatannya tersebut mendapatkan balasan yang teramat menyakitkan.
**
Aku memang telah dilanda oleh kekhilafan, yang membuat pikiranku selalu diselimuti oleh hal-hal yang sangat buruk.
Dalam bidang usahaku mengolah lahan pertanian, bisa dikatakan cukup sukses. Artinya bahwa aku, istriku dan ketiga anakku (termasuk yang masih dikandung istriku) dapat menikmati hasilnya yang berlimpah. Sayang sekali, aku tidak bisa dikatakan sukses dalam membina ahlakku.
Entah mengapa, hatiku selalu diliputi iri hati terhadap apa yang didapatkan oleh tetanggaku, yang rumahnya persis di depan tempat tinggalku.
Sebut saja namanya OD. Dia terpilih menjadi kepala dusun di kampungku selama dua periode. Sedangkan, aku yang beberapa kali mencalonkan diri, tak pernah sekali juga bisa gol dalam meraih suara terbanyak.
Padahal sudah kukorbankan sebagian besar hartaku. Apalagi tingkat pendidikanku lebih tinggi daripada OD. Itulah yang membuatku selalu merasa iri kepada OD. Pendek kata, aku begitu membencinya.
Berbagai cara telah kulakukan untuk mencoba menggulingkan OD dari jabatannya. Tapi usahaku selalu gagal dan sia-sia. Tentu saja membuatku semakin panas.
Tekadku semakin kuat untuk bisa menurunkan OD. Suatu kali, aku pernah menyebarkan isu, bahwa OD adalah keturunan gerombolan G 30 S/PKI. Tentu saja OD harus berurusan dengan aparat kepolisian.
Tapi pada akhirnya, OD bisa bebas kembali, sebab bukti-bukti yang memberatkannya sangat tidak mendukung.
Namun, setidaknya aku cukup puas menyaksikan keluarga OD telah dilanda kekalutan selama beberapa hari.
Sayang sekali, istrinya tidak mencoba untuk meminjam uang dariku. Padahal aku sangat mengharapkan hal itu terjadi. Dan tentunya sudah direncanakan pula apa yang akan aku lakukan.
Pada suatu hari, sekitar jam 12.00 WIB, sehabis pulang dari sawah, aku duduk di teras depan sambil beristiahat. Tiba-tiba seekor ayam betina masuk ke pekarangan rumahku.
Ayam itu naik ke atas teras dan membuang kotorannya. Membuat aku begitu jijik melihatnya, apalagi setelah istriku mengatakan bahwa ayam tersebut adalah milik OD.
Tanpa banyak berpikir panjang lagi, aku menangkap ayam betina itu. Didorong oleh rasa kebencian yang sangat besar terhadap OD, ayam itu kuremas dengan amarah yang membakar dada.
Kakinya kupelintirkan, sambil kutarik kepalanya. Sehingga pada akhirnya ayam itu langsung mati. Dan kulemparkan ke kolam milik tetanggaku yang bernama SA.
Sore harinya diam-diam aku mengintip OD dari balik jendela. Benar yang dikatakan oleh istriku. OD terlihat sangat sibuk mencari ayamnya yang hilang. Membuat aku tersenyum penuh kepuasan. Apalagi ketika OD telah menemukan ayamnya yang mengambang di atas kolam SA.
"Astagfirullohal'adziiim..." begitulah yang terlontar dari mulut OD sambil mengangkat ayamnya yang sudah tak bernyawa.
"Naha eta hayam bet paeh/ kenapa ayamnya mati?" SA pun tak luput dari rasa keheranannya. Dan aku berharap agar OD menuduh SA yang membunuh ayam itu.
"Keun bae atuh, geus waktuna weh sigana mah/ tidak apa-apa, mungkin sudah waktunya," jawab OD kepada SA.
"Sahanya anu maehanna, nya? Aya ku tega-tega teuing!/Siapa yah yang membunuhnya? Tega sekali!" SA sepertinya takut dituduh oleh OD.
"Teuing atuh. Keun bae lah, engke oge bakal kanyahoan ieuh,/ tidak tahu. Biarkan saja, nanti juga akan ketahuan," kata OD sambil berpamitan kepada SA.
Aku tertawa dengan geli, mendengar perkataan OD. Mana mungkin perbuatanku akan ketahuan. Sombong sekali omongannya itu.
Pembantaianku terhadap seekor ayam betina, sudah kuanggap sebagai angin lalu. Aku tidak terlalu memikirkannya. Dan OD pun tidak mempermasalahkan ayam tersebut.
Mungkin dia takut kehilangan pamornya di mata masyarakat. Atau memang OD sudah mengikhlaskan kematian ayamnya.
Bila aku mau, seribu ekor ayam pun aku bisa menggantikannya untuk OD itu. Persoalan ayam, sangat sepele bagiku.
Tiga bulan telah berlalu. Usia kandungan istriku pun sudah menginjak sembilan bulan. Aku sudah bersiap-siap untuk menyambut kelahiranankku yang ke-3.
Dari jauh hari pun, aku telah mempersiapkan segala macam keperluan istriku dan anakku yang akan lahir.
Popok bayi, bedak, dan sebangsanya, telah kubeli dari pasar. Tak lupa aku pun mempersiapkan segala macam kebutuhan untuk syukuran.
Pokoknya kelahiran anakku yang ke-3 ini akan kusambut dengan lebih suka cita. Bahkan aku juga telah berjanji, jika anakku yang lahir adalah perempuan, maka aku akan membagi-bagikan makanan kepada seluruh warga di kampungku.
Sebab, anakku yang pertama dan kedua adalah laki-laki. Sehingga aku begitu mendambakan kelahiran seorang anak perempuan.
Waktu yang dinanti-nantikan pun tak kunjung datang. Pada hari Selasa, 19 Juli 2001, istriku melahirkan anakku dengan bantuan seorang paraji. Aku begitu tegang menantinya, walau dalam situasi seperti itu aku masih bisa merokok.
Anakku Telah Menyadarkan DirikuAlhamdulillah, akhirnya anakku lahir dengan selamat. Istriku juga tidak mengalami kesulitan apa-apa.
Kukecup keningnya dengan penuh kebahagiaan. Apalagi ketika paraji mengatakan bahwa anakku adalah seorang perempuan.
Tapi...aku sungguh terkejut ketika menyaksikan keadaan bayi yang baru lahir dari rahim istriku itu. Dan aku berharap kalau semua itu adalah sebuah mumpi.
"Astagfirullohaladziim..." bibirku bergetar dan tak kuasa menahan untaian air mata yang menetes dari kelopak mataku.
Ternyata anakku terlahir dengan keadaan tubuhnya yang tidak normal. Sungguh sangat menyakitkan, dan itu bukanlah sebuah mimpi.
Istriku juga tak mampu berucap sepatah kata pun. Dia menangis tersedu-sedu sambil memegang erat tanganku. Betapa tidak, bayi yang baru terlahir itu, keadaannya sangat menyayat hati.
Kaki kanannya seperti terpelintir. Dan...aku teringat pada ayam yang kubantai beberapa bulan yang lalu.
Ya Allah, kaki bayiku itu tidak jauh berbeda dengan kaki ayam betina milik OD yang kupelintirkan. Maka, terngianglah ucapan terakhir OD yang mengatakan 'nanti juga akan ketahuan'.
Sepertinya, inilah pembalasan atas dosa-dosaku yang telah kuperbuat. Anakku kini yang menjadi korban.
Ketika para tetangga menengok bayiku, aku selalu menundukan kepala. Terlebih lagi pada saat OD sendiri yang menengok bayiku.
Sejenak, OD tertegun menyaksikan keadaan bayiku, tapi OD sepertinya berusaha menyembunyikan segala perasaan dalam lubuk hatinya.
Ingin rasanya aku merangkul OD, dan meminta maaf atas segala dosa-dosaku. Tapi aku tak kuasa untuk melakukannya.
Berat rasanya untuk melakukan itu. Hanya saja aku bertekad, akan meminta maaf kepada OD di hari lebaran yang akan datang.
Aku memberikan sebuah nama yang indah kepada anakku, diambil dari salah satu Asmaul Husna. Walau tubuhnya tidak normal seperti orang lain, dia tetap anakku.
Aku menyayanginya setulus hati. Terlebih lagi, aku merasakan bahwa kecacatan yang dimilikinya itu akibat dari dosa-dosaku kepada OD. "Maafkanlah anakku. Maafkanlah OD.
Aku memang sangat berdosa..."*** (Diceritakan kepada Ekspresif.Com)
Komentar