Lokasi Longsor di blok Ciwalahir, Kampung Tarengtong, Dusun Cibogo, Desa/Kecamatan Sukasari, Kabupaten Sumedang (10/11/07) - (Foto: Ekspresif.Com) |
Pada tahun 2007, warga Kampung Tarengtong dikejutkan dengan terjadinya longsor di blok Ciwalahir.
Tepatnya tanggal 10 November 2007. Urugan tanah yang terjadi secara tiba-tiba itu langsung menerjang beberapa petak sawah yang terletak di dataran bawahnya.
Sementara empat petani, Apong, Cecep, Rosid, dan Emit, tengah sibuk menuai padi di hamparan sawah yang kemudian terkubur tanah longsor.
Semuanya berusaha menyelamatkan diri dalam suasana kepanikan. Dan Apong terlambat menghindar ancaman maut itu. Tubuhnya terseret lumpur dan terkubur.
Di mana tubuh Apong terkubur? Cecep, suaminya Apong, memaparkan kronologi tragedi yang hampir merenggut nyawa istrinya.
Ditambah pula dengan paparan Tatan, seorang pegawai Kecamatan Sukasari, yang menjadi saksi dari peristiwa tersebut, dan Aiptu Ato Suharto, Kapospol Sukasari.
**
HARI Sabtu musim dibuat (panen padi). Langit cerah menaungi Dusun Cibogo I, Desa/ Kecamatan Sukasari, Kabupaten Sumedang.
Burung-burung bernyanyi menemani langkah-langkah sepasang suami-istri, Cecep (30) dan Apong (30), yang berangkat menuju ke sawah.
Mereka berniat untuk mencari nafkah dengan cara derep di sawah yang terletak di blok Ciwalahir, berjarak kurang-lebih 1,5 KM dari rumahnya.
Derep merupakan istilah yang biasa digunakan di Sukasari. Artinya adalah bekerja menuai padi di sawah milik orang lain, dengan perhitungan upah 1/10 dari hasil menuai padi.
Contohnya, jika setelah digebot (memisahkan padi dan tangkainya) mendapat sepuluh rantang, maka si penuai akan mendapat upah satu rantang. Ada juga yang menggunakan ukuran blek.
Jika menghasilkan 10 blek, maka si penuai akan mendapat upah satu blek.
Ada pula yang menggunakan istilah gacong (kependekan dari sasangga sapocong). Jika penuai menghasilkan padi satu sangga (satu sangga berarti sepuluh pocong), maka si penuai akan mendapatkan upah satu pocong.
Sangga adalah hitungan dari banyaknya ikatan padi. Satu sangga adalah lima geugeus. Sedangkan satu geugeus adalah dua pocong atau dua eundan. Menurut keterangan Ahmad (50), seorang petani, di Sukasari biasanya menggunakan hitungan rantang.
Begitulah Cecep dan Apong mencari nafkah. Semakin banyak padi yang dihasilkan, maka upahnya pun kian banyak.
Untuk mendapat tiga rantang padi, Cecep dan Apong atau siapapun yang derep, harus menghasilkan 30 rantang.
Tiga rantang padi adalah 2 Kg. Jika sudah menjadi beras, hasilnya adalah 1,5 liter atau 5 cangkir. Satu cangkirnya adalah ¼ Kg. Suatu tradisi yang tetap terjamin meski telah melewati berbagai zaman.
Setibanya di blok Ciwalahir, Apong dan Cecep segera bersiap-siap memulai pekerjaan. Mereka pun ditemani oleh Rosid dan Emit, sepasang suami istri yang sama-sama mau derep di sawah tersebut.
Tidak ada yang ganjil. Semuanya berjakalan seperti hari-hari sebelumnya. Mereka mulai menuai padi menggunakan sabit.
Memang biasanya menuai padi menggunakan etem. Tapi penggunaan sabit pun sudah dianggap lazim.
Sekitar pukul 09.30 WIB, Cecep agak terkejut oleh suara gemuruh urugan di tebing yang tidak jauh dari tempatnya bekerja.
Tapi urugan tanah itu melaju perlahan dan tampak tidak membahayakan.
“Urug taneuh téh…(tanahnya urug)” demikian kata Cecep dengan nada suara yang tenang.
Semua mata tertuju ke arah tebing. Memang tidak seberapa parah. Hanya urug kecil yang menurut perkiraan mereka tidak mungkin mengubur sawah. Tapi Apong sudah sedikit merasakan bahaya yang akan menimpanya.
“Moal nepi kadieu kitu, Kang? (tidak akan sampai ke sini, Kang?)” tanya Apong.
“Ah, moal sigana mah…(sepertinya tidak)” jawab Cecep.
Mereka pun melanjutkan lagi garapannya. Selang beberapa menit, satu petak sawah hampir selesai dituai, tinggal melewati proses pemisahan padi dari tangkainya dengan cara digebot.
Tiba-tiba terjadi lagi urugan tanah di tempat yang sama, tetapi kali ini longsor terjadi dengan lebih hebat. Urugan tanah melaju dengan lebih cepat dalam skala yang lebih besar.
“Uruuug! Uruuug! Uruuug…!” para petani dan tukang ojek di Blok Ciwalahir berteriak mengingatkan Cecep, Apong, Rosid, dan Emit.
Semuanya terkejut, tetapi longsor sudah merambat lebih cepat. Emit segera berlari menghindari bahaya maut tersebut.
Cecep memegang ranting pohon bambu dengan erat. Sementara Rosid dan Apong terkubur dan terseret arus longsor. Tentu semua menjadi panik.
Tidak lama kemudian, Rosid menyembul dari kuburan tanah longsor dan berhasil menyelamatkan diri. Meski begitu, wajahnya tampak berlumuran darah karena terkena benturan batu. Tinggal Apong yang belum ditemukan.
“Tuluuung…! Tuluuung….! Apooong…! (Tolooong…! Tolooong! Apoooong…!)” Cecep berteriak memanggil nama istrinya sambil mengubek lumpur mencari tubuh istrinya yang lenyap terkubur tanah longsor.
Orang-orang di sekitarnya turut panik dan segera membantu mencari Apong. Seorang pegawai Kecamatan Sukasari bernama Tatan (35) langsung terjun ke lokasi, turut mencari keberadaan Apong.
Dalam beberapa saat, blok Ciwalahir menjadi pusat perhatian masyarakat. Termasuk Aiptu Ato Suharto (Kapospol Sukasari), Suryana (Kuwu Sukasari), dan aparat setempat lainnya segera mendatangi lokasi kejadian.
Keadaan semakin tegang, karena waktu sudah berlalu 10 menit, sedangkan tubuh Apong belum ditemukan. Ketika tanah merambat lagi, tubuh Apong menyembul.
Tentu semuanya segera berlari menuju tubuh Apong. Berlari di dalam lumpur, tentu saja cukup sulit. Namun akhirnya Tatan berhasil meraih tubuh Apong dan segera membersihkan lumpur di wajahnya.
“Pong! Pong!” Tatan mecoba memanggil namanya sambil memberi nafas bantuan.
“Emh…! Akh…!” begitulah suara yang keluar melalui bibir Apong.
“Hirup keneeeeh! (masih hiduuuup)” Tatan berteriak dengan hati yang cukup lega.
Apong memang masih hidup, meski ketika ditemukan sudah dalam keadaan tidak sadarkan diri. Masyarakat bahu membahu membantu menggotong tubuh Apong, untuk selanjutnya dibawa ke Puskesmas Sukasari.
Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba Rosid pingsan. Akhirnya tubuh Rosid pun harus digotong dan dibawa meninggalkan lokasi.
*
Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa tersebut. Tapi di kampung tetangga sempat tersiar kabar ada tujuh petani yang meninggal dunia akibat tertimbun longsor di blok Ciwalahir dan Cibongkok.
“Biasa, kabar sejengkal suka bertambah menjadi dua atau tiga jengkal…” kata Tatan sambil tersenyum, ketika ditemui di kantor Kecamatan Sukasari.
Menurut Tatan, tubuh Apong kira-kira satu atau dua jengkal tertimbun tanah, sehingga cukup sulit untuk menemukan. Diperkirakan, Apong terkubur selama kurang-lebih 15 menit.
Apong bisa bertahan hidup, karena tepat di wajahnya ada jerami. Jadi, masih ada ruang hampa yang memungkinkan untuk mengambil nafas.
Jika tidak begitu, kemungkinan besar Apong akan meninggal dunia. Itulah suatu pertolongan dari Alloh Yang Maha Besar.
**
Nama Ciwalahir berkaitan erat dengan legenda “Teuteuk Beuheung” yang ceritanya masih dikenal oleh beberapa kalangan masyarakat Sukasari.
Konon, ada dua kakak beradik yang sedang mencari letak kadal meteng. Namun di tengah perjalanan, ada kesalahpahaman yang terjadi di antara dua bersaudara tersebut.
Sang adik mengejar sang kakak untuk memotong lehernya. Di suatu tempat, sang kakak menghentikan larinya, lalu ngalahir (berbicara) kepada adiknya, berusaha menyadarkan kekeliruannya.
Selanjutnya, tempat tersebut kini bernama Ciwalahir, lokasi tempat terjadinya longsor yang hampir menewaskan Apong.
Apakah ada hubungannya legenda “Teukteuk Beuheung” dengan longsor yang terjadi di tengah panasnya pinjaran matahari?
**
“Tidak ada keterkaitannya antara legenda dan longsor. Kejadian longsor merupakan peristiwa alam yang logis terjadi. Di tebing blok Ciwalahir dan Cijongtkok, ada dua sungai kecil yang tersendat, dan belum sempat diperbaiki. Tentu saja airnya merasuk ke dalam tanah, yang pada akhirnya mengakibatkan longsor…”
demikian kata Aiptu Ato Suharto, ketika ditemui di kantor Pos Polisi Sukasari.
Ato pun memaparkan peristiwa yang hampir merenggut nyawa Apong, sebagaimana yang diceritakan pada Kisah bagian pertama.
Dengan adanya kejadian seperti ini, Ato memberikan penghargaan kepada masyarakat yang antusias dalam melakukan pertolongan.
Selain itu, Ato pun mengingatkan agar masyarakat Sukasari untuk selalu waspada terhadap gejala alam yang bisa terjadi kapan saja dan di mana saja.
Setelah berbincang-bincang dengan Ato, bersamaan dengan berkumandangnya adzan Isya, penulis pun segera menuju ke tempat tinggal Apong yang letaknya masih berada di Kampung Cibogo.
Hujan rintik-rintik membasuh jalan setapak menuju rumah Apong. Penulis harus berhati-hati, karena selain jalannya licin, ditambah pula dengan matinya aliran listrik.
Gelap gulita sepanjang perjalanan. Suasana sunyi senyap, tetapi sekali-kali terdengar suara kambing mengembek.
Penulis sempat merinding, takut dituduh mau mencuri kambing. Kabarnya, pencurian hewan ternak sedang merajalela.
Apalagi beberapa hari sebelumnya, penulis mendengar kabar dari Kampung Pasirloa, Desa Kadakajaya, masyarakat menangkap seseorang tidak dikenal, yang diduga kuat berencana mencuri kambing.
Tidak ada jalan lain, kecuali mengetuk pintu sebuah rumah warga, seraya mengucapkan salam.
“Wa’alaikum salam…” terdengar suara wanita dari dalam rumah. Tidak lama kemudian, pintu dibuka. Seorang wanita setengah baya keluar dengan wajah yang ramah.
“Mangga ka lebet, hawatos teuing kahujanan. Sok, ka lebet… (silahkan masuk, kasihan kehujanan. Ayo masuk…)” demikian ucapnya lagi yang tampak bukan sekedar basa-basi.
“Hatur nuhun, Bu. Punten bade tumaros, dupi bumina Ibu Apong palih mana nya? (Terimakasih, Bu. Maaf mau tanya, kalau rumahnya Ibu Apong di sebelah mana ya?)” tanya penulis.
“Oh, ti dieu mah teras we ka lebak. Engke mengkol ka kulon. Rada tebih keneh, jaba paroek deuih jalanna. Sok, mending ka lebet heula, urang ngadamel cikopi…(Oh, dari sini terus ke bawah. Nanti belok ke arah barat. Masih agak jauh, lagi pula jalannya gelap. Silahkan masuk dulu, nanti dibikinkan air kopi…)” begitu katanya.
Penulis hampir tergoda untuk masuk dulu ke rumahnya, karena kedinginan. Sungguh nikmat kalau meneguk segelas kopi panas.
Namun niat tersebut diurungkan, karena sepintas melihat seorang anak gadis melongo dari balik kaca nako.
Takut dikira mau iseng-iseng godain anak gadis, dan masalahnya mungkin bisa menjadi agak runyam. Oleh karena itu, penulis segera undur diri, dan melanjutkan perjalanan menuju rumah Apong.
Alhamdulillah, akhirnya sampai juga ke rumah Apong. Listrik pun sudah kembali menyala, sehingga keadaan menjadi terang. Keluarga Apong menyambut dengan penuh keramahan.
Penulis dipersilahkan untuk langsung masuk dan melihat keadaan Apong. Tampak Apong masih terbaring tidak berdaya, dikelilingi oleh suami, anak, orang tua, dan beberapa orang tetangganya.
“Alhamdulillah tadi teh nuju seueur jalmi, da nuju usum dibuat. Malah ti kamantren oge lalumpatan ngiring nulungan. Ari abdi mah henteu kagaley, margi posisina nuju di sisi, sami sareng istrina Ocid nu aya di sisi palih dituna. Mung pun bojo sareng Ocid nu kagaley teh, da posisina nuju aya di tengah. (Alhamdulillah tadi sedang banyak orang, karena sedang musim menuai padi. Bahkan dari kantor kecamatan pun berlari turut menolong. Saya tidak terseret longsor, karena posisinya berada di pinggir, sama halnya dengan istrinya Ocid (Rosid) yang berada di pinggir seberangnya. Hanya istri saya dan Ocid yang terseret longsor, karena posisinya berada di tengah)”
demikian kata Cecep sambil terkadang memperhatikan wajah istrinya yang masih terbaring dengan mata terpejam.
Sebelumnya Cecep mengaku tidak mendapat firasat apapun. Pada malam Sabtu, Cecep atau istrinya tidak bermimpi buruk.
“Memang basa bade ngawitan damel, abdi rada hoream. Panginten mung eta anu dianggap firasat ka abdi mah… (memang ketika mau mulai bekerja, saya agak malas. Mungkin hanya itu yang dianggap firasat oleh saya)” kata Cecep.
“Emh… nu dipake tugenah teh urang keur kuli… (Emh… yang membuat tidak enak itu kita sedang kuli…)” tiba-tiba Apong bersuara, meski mata tetap terpejam.
Kontan Cecep tersenyum sambil menjawab, “Heueuh da mun apal picilakaeun mah tangtuna oge moal… he he he… (Iya, kalau tahu mau celaka, tentu saja tidak akan kuli… he he he…)”
Begitu kata Cecep. Semua orang turut tersenyum.
Rupanya Cecep mencoba untuk tetap tegar menghadapi musibah tersebut. Ia tersenyum, tentunya merasa gembira menyaksikan keadaan istrinya yang semakin membaik.
15 menit terkubur, bukan waktu yang sebentar bagi masyarakat yang bukan pemain akrobat. Namun, berkat kemurahan Alloh SWT, Apong selamat dan keadaannya semakin membaik. Ia telah terhindar dari bahaya maut atas terjadinya longsor Ciwalahir.
Padi hasil dibuat memang lenyap diterjang longsor. Tapi Cecep tidak mempermasalahkan hal itu.
Biarlah padi hasil jerih payahnya terkubur longsor, tetapi istrinya selamat. Dalam keadaan kalut menghadapi musibah longsor, tentunya urusan padi bukan lagi menjadi hal yang dianggap penting.
Apapun adanya, nyawa seorang istri lebih berharga. Dan kini, istri yang dicintainya telah selamat. Esok atau lusa, Cecep dan Apong akan kembali seiring-sejalan, mencari nafkah dengan cara derep.
Penulis hanya bisa mendo’akan, semoga Apong cepat sembuh dan semoga esok-lusa menuai padi di sawah sendiri, dengan hasil yang berlimpah, Amiiin.***(Ekspresif.Com)
Komentar